MAKALAH
Hewan
Satwa Harapan
Mata Kuliah Dasar Ternak Potong Dan
Kerja

Disusun oleh :
Arifin
Nim : 1351010526
UNIVERSITAS WIJAYAKUSUMA PURWOKERTO
FAKULTAS PETERNAKAN
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya
ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunianya
sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan judul”hewan
satwa harapan”
Shalawat beserta salam
kita curahkan kepada junjungan alam yakni Nabi Muhammmad SAW atas perjuangan
beliau dan para sahabatnya sehingga kita dapat merasakan dan menikmati dunia
yang penuh dengan berbagai ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat ini.
Kami ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan
dan semangat kepada penulis sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada
waktunya.
Kami menyadari bahwa
masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami
mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun
kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita sekalian.
Purwokerto,25 Desember 2014
Penulis
Arifin
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL...........................................................................................1
KATA
PENGANTAR...............................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
..............................................................4
1.2.
Perumusan masalah..............................................................4
1.3. Tujuan........................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Satwa Harapan................................................................................5
2.2 Hewan Anoa.........................................................................7
2.3 Morfologi.....................................................................7
2.4 Habitat,Penyebaran Dan Pergerakan.....................8
2.4 Pakan............................................................................9
2.5 Reproduksi...........................................................................9
2.6 Populasi..........................................................................................9
2.7 Status
Perlindungan...............................................................10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..........................................................................11
3.2 Saran..............................................................................................11
3.3 Daftar Pustaka............................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan usaha peternakan telah
sampai pada upaya perluasan jenis-jenis hewan yang diusahakan untukdiambil
hasilnya. Perluasan ini dibuktikan dengan munculnya istilah baru, yaitu‘satwa
harapan’. Berdasarkan perbedaan dari definisi antara hewan dan ternak,dimana
hewan adalah semua binatang yang hidup di darat, baik yang dipeliharamaupun
yang liar. Ternak adalah hewan piaraan yang kehidupannya diatur dandiawasi oleh
manusia serta dipelihara khusus untuk diambil hasil dan jasanyabagi kepentingan
hidup manusia. Satwa harapan dapat didefinisikan sebagai binatang
atau satwa selain binatang yangdipelihara/diternakan tersebut dan diharapkan
apabila diusahakan dapat menghasilkan bahan dan jasa seperti ternak. Berbagai
jenis satwa harapantersebut, contohnya antara lain ; burung (burung puyuh,ayam
hutan), cucak rawa,reptil (ular,buaya), ikan arwana, kupu-kupu, banteng, rusa,
gajah dan anoa.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, penulis mengidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:
Bagaimana cara mendomestikasi hewan anoa
?
1.3 Tujuan
1.Menjelaskan cara mendomestikasi hewan
anoa
2.Memenuhi tugas yang diberikan pada
mata kuliah Dasar Ternak Potong Dan Kerja
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Satwa Harapan
Pada umumnya,
alasan utama manusia melakukan budidaya satwa liar adalah karena alasan
ekonomis yang berasal dari bermacam-macam produk, misalnya ; daging,minyak,
gading/tanduk/taring, kulit sampai pada pemanfaatan bulu dan nilai keindahan
dari kekhasannya. Salah satu cara budi daya dan pengembangan satwa liar
menjadi komoditi domesti adalah domestikasi atau penangkaran. Ada beberapa pola
yang dikembangkan, yaitu game ranching dangame farming.Game
ranching adalah penangkaran yang dilakukan dengan sistem pengelolaan yang ekstensif.
Ada dua arti yang berbeda (Robinson dan Bolen, 1984), pertama, suatukegiatan
penangkaran yang menghasilkan satwa liar untuk kepentingan olah raga berburu,
umumnya jenis binatang eksotik, kedua, adalah kegiatan penangkaran satwa
liar untuk menghasilkan daging, kulit, maupun binatang kesayangan,seperti
misalnya burung, ayam hutan dan sebagainya. Pola penangkaran ini telah berkembang
di Afrika, Amerika Serikat dan Australia. Di Indonesia sendiri pola ini
telah di coba dikembangkan untuk jenis-jenis ayam hutan, burung, reptil(buaya,
ular, penyu) dan ungulata(rusa, banteng dan anoa).
Pola yang
kedua adalah game farming, yaitu kegiatan penangkaran satwa liar dengan tujuan
untuk menghasilkan produk-produk seperti misalnya kulit, bulu, minyakdan
taring/gading/tanduk. Dalam pola ini dikembangkan juga penjinakan untuk keperluan
tenaga kerja, misalnya gajah.
Prinsip penangkaran
adalah pemeliharaan dan perkembangbiakaan sejumlah satwa liar yang sampai
pada batas-batas tertentu dapat diambil dari alam, tetapi selanjutnya pengembangannya
hanya diperkenankan diambil dari keturunan-keturunan yang berhasil
dari penangkaran tersebut. Ada empat syarat untuk mengembangkan komoditi
domestik melalui penangkaran agar diperoleh hasil maksimal, yaitu :
- Obyek
(satwa liar), perlu memperhatikan populasinya di alam apakah mencukupi
atau tidak, kondisi species (ukuran badan, perilaku) dan proses pemeliharaan
sertta pemanfaatannya.
- Penguasaan ilmu dan teknologi, meliputi pengetahuan
tentang ekologi satwa liar serta dikuasainya teknologi yang sesuai dengan
keadaan perkembangan dunia.
- Tenaga
terampil untuk menggali dasar ekologi ataupun cara pengelolaan pada proses
penangkaran
- Masyarakat, berkaitan erat dengan sosial budaya dan
diharapkan sebagai sasaran utama dalam proses pemasaran produk
Penangkaran dalam
rangka budi
daya dilakukan dengan sasaran utama komersiil terutama dari segi peningkatan
kualitasnya, sehingga metode yang diterapkan lebih ditujukan untuk peningkatan
jumlah produksi yang ditentukan oleh kaidah-kaidah ekonomi dan dikendalikan
pasar. Metode ini menerapkan teknologi reproduksi yang tinggi,
seperti misalnya : inseminasi buatan, transplantasi embrio, agar
dapatdihasilkan keturunan jantan yang baik, sehingga terjadi peningkatan
genetik.Namun demikian, ini hanya boleh dilakukan bagi satwa/binatang hasil
penangkaran pertama
karena menyangkut nilai sosila etis dan undang-undang tentang perlindungan
satwa liar yang merupakan satwa langka.
Suatu alasan
yang sangat penting agar peternakan satwa liar dapat dikembangkan adalah karena
satwa liar mempunyai daya adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan ternak lain,
selain proses pengelolaannya jauh lebih mudah dan hasilnya sangat memuaskan.
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan untuk memperbesar kemungkinan
domestikasi/penangkaran adalah anggapan bahwa satwa liar tidak dapat
didomestikasikan adalah karena kualitas keliaran. Hal ini sama skali tidakbenar,
sebab mamalia liar dapat dijinakan sama mudahnya seperti yang lain(Ertingham,
1984). Hal lainnya yang perlu juga diperhatikan adalah pendapat bahwa
pada domestikasi ada satu atau dua spesies yang tidak dapat mengeksploitasi potensi
vegetasi makanannya secara penuh seperti pada saat mereka hidup di alam bebas.
Hal ini mungkin ada benarnya dan dapat dibuktikan pada satwa-satwa domestik
seperti misalnya jenis hewan pemakan semak (sapi dan kambing), pemakan rumput
(domba). Sapi akan memakan hijauan sampai pada tingkat tertentu dan kambing
akan merumput maupun memakan semak apabila terpaksa. Hal ini berarti bahwa
mereka mampu memanfaatkan suatu selang vegetasi yang luas meskipun ada tumbuh-tumbuhan
yang tidak mereka makan.
Dari segi
sosial ekonomi, hal-hal penting yang perlu diperhatikan tidak berhubungan langsung
dengan ternak obyeknya. Segi ekonomi lebih mengarah pada ada/tidaknya
modal sebagai penyedia input dan kelangsungan proses penangkaran sebagai
produksinya dan pertimbangan akan hasil yang dikeluarkan sebagai outputnya.
Segi sosial, lebih mengarah pada ketaatan terhadap undang-undang(sosial etis)
dan kesiapan untuk menerima dan melakukan proses domestikasi/penangkaran terhadap satwa
liar ini.
Nampaknya masa
depan satwa liar sebagai suatu sumber daya yang dapat di eksploitasi dan dikembangkan
sebagai suatu faktor penambah keanekaragaman hewan domestic sangat bagus
prospeknya, sebagai contoh, peternakan Gazzella (sejenis rusa) telah
dipraktekan dan hasilnya sangat memuaskan selama bertahun-tahun di Afrika Selatan.
Bahkan peternakan
ini mampu menyerap tenaga kerja sekitar 3000 orang dengan produksi lebih
dari tiga juta kilogram daging pertahun. Indonesia dengan potensi sumber
daya yang tinggi
dimana terdapat beraneka ragam binatang lebih meningkatkan pengembangan dan
memasyarakatkan sistem domestikasi/penangkaran ini. Suatu contoh yang berkembang
di Indonesia
adalah sapi Bali (Bos
sondaicus). Jenis ini telah membudidaya di masyarakat dan
telah mempunyai status sosial, bahkan penyebarannya telah sampai
keAustralia. Satwa liar yang mempunyai potensi sama besarnya adalah rusa dan
anoa yang
didukung dengan populasinya yang masih banyak.
Potensi-potensi tersebut dengan alasan di atas hendaknya digali
dan dikembangkan dengan system domestikasi sebagai langkah awalnya. Selain itu,
pola-pola penangkaran yang telah dikembangkan masyarakat tradisional seperti
dilakukan masyarakat dipedalaman Irian Jaya terhadap buaya, yang termasuk
kategori farming perlu dikembangkan dan ditingkatkan dengan memberi bimbingan
ke arah pola penangkaranprofesional, sehingga hasilnya optimal.
2.2 Hewan Anoa
Anoa, sejenis sapi
kerdil yang hidup di hutan tropis Sulawesi. Anoa memiliki nama yang berbeda
sesuai dengan etnis yang ada. Di Minahasa dan sekitarnya anoa disebut Buulu Tutu,
Bandogo Tutu dan di Gorontalo disebut Sapi Utan, Dangko atau Langkau. Di bagian
tengah Sulawesi Suku Kaili menyebutnya Nuua dan di Dampelas disebut Baulu.
Etnis Kulawi di dataran tinggi Sulawesi Tengah menamainya Lupu, di Buol
Toli-Toli anoa dinamai Bukuya. Di bagian tenggara Sulawesi, dalam bahasa daerah
Tolaki, anoa dikenal dengan nama Kadue. Di daerah Malili termasuk sekitar Danau
Matano penduduk menyebut anoa dengan nama Anuang. Dalam bahasa Indonesia, satwa
ini dikenal dengan nama anoa, namun ada juga yang menyebutnya sapi hutan atau
sapi cebol (Mustari, 2003).
2.3 Morfologi
Anoa adalah hewan
berkuku genap, bentuk kepala menyerupai kepala sapi, tanduk mengarah ke
belakang. Tinggi badan berkisar 69 cm sampai 106 cm. Saat ini, ada dua jenis
anoa (Bubalus spp.) yang kita kenal, yakni Anoa dataran rendah (Bubalus
depressicornis) dan Anoa gunung (Bubalus quarlesi). Anoa dataran
rendah memiliki warna putih di bagian metacarpal, panjang ekor mencapai lutut,
rambut lebih jarang pada individu dewasa, potongan melintang pangkal tanduk
‘triangular atau bersegi tiga’ dan terdapat ‘wrinkled’ atau berupa spiral pada
bagian dasar sampai pertengahan panjang tanduk, panjang tanduk 27,1-37,3 cm
pada anoa jantan dan 183-260 mm pada anoa betina; panjang tengkorak 29,8-32,2
cm pada jantan dan 290-300 mm pada betina.
Anoa gunung memiliki
warna tungkai sama dengan warna badan, ekor pendek, tidak mencapai lutut,
potongan melingkar pangkal ekor bulat, tidak ada ‘wrinkled’ atau
garis-garis cincin pada setengah panjang tanduk, panjang tanduk berkisar
14,6-19,9 cm, dan panjang tengkorak 24,4-29 cm. Anoa gunung memiliki rambut
warna coklat cerah, terdapat bercak putih kecil di bagian atas kuku, rambut
panjang, lembut dan menyerupai wool, ekor pendek, sekitar 18 cm, jarang mencapai
lebih dari setengah panjang pangkal ekor ke lutut belakang, bagian dalam
telinga berwarna coklat tua. Tinggi bahu 63 cm, dan panjang tanduk 15-25 cm.
Klasifikasi Ilmiah
·
Phylum
: Chordata
·
Subphylum
: Vertebrata
·
Klas
: Mammalia
·
Subklas
: Theria
·
Infraklas
: Metatheria
·
Ordo
: Artiodactyla
·
Subordo
: Ruminantia
·
Famili
: Bovidae
·
Genus
: Bubalus
·
Subgenus
: Anoa
·
Spesies
: Bubalus depressicornis, Bubalus quarlesi

2.4 Habitat,Penyebaran
Dan Pergerakan
Anoa (Bubalus spp.)
merupakan penghuni hutan yang hidupnya berpindah-pindah tempat dan apabila
menjumpai musuhnya anoa akan mempertahankan diri dengan mencebur ke rawa-rawa
dan apabila terpaksa akan melawan dengan menggunakan tanduknya. Habitatnya di
hutan tropika dataran, savanna, kadang-kadang dijumpai di rawa-rawa. Anoa
memiliki kebiasaan berkubang atau berendam digenangan air di hutan pantai yang
berbatasan langsung dengan hutan bakau pada siang hari yang terik.
Satwa ini juga
termasuk perenang dan pendaki gunung yang ulet, mereka sering dijumpai berenag
dipantai. Kebiasaan anoa yang lain yaitu mengasah atau meruncingkan tanduknya
pada pohon-pohon tertentu, menggaruk tanah di sekitar tempat pembuangan kotorannya
disepanjang lintasannya di dalam hutan. Satwa tersebut aktif baik pada siang
hari maupun pada malam hari. Tambahan lagi makhluk ini termasuk satwa liar yang
sangat peka, gangguan sedikit saja menyebabkan satwa ini menjauh.
Menurut Amir (2008),
dalam catatan penelitian (progress report) STORMA, pergerakan Anoa (Bubalus spp)
berlangsung secara berkelompok maupun sendiri, dan bergerak dari tempat yang
rendah menuju tempat yang lebih tinggi dan begitupun sebaliknya. pergerakan ini
dilakukan untuk mencari makan ataupun minum dan melakukan istirahat. Pergerakan
ini umumnya bergerak dengan radius sampai 3,5 km atau lebih. Sedangkan menurut
Tikupadang dan Misto (1994), luas daerah jelajah Anoa yang diteliti di Cagar
Alam Faruhumpenai Mangkutana seluas 5.000 hektar.
2.4 Pakan
Di alam bebas Anoa
liar memakan “aquatic feed” antara lain berupa pakis, rumput, tunas
pohon, buah-buahan yang jatuh, dan jenis umbi-umbian. Berdasarkan pengamatan
Pujaningsih, et al., (2005) dan beberapa peneliti dilaporkan
bahwa Anoa dataran rendah kadang-kadang juga minum air laut yang diduga untuk
memenuhi kebutuhan mineral mereka. Di dataran tinggi, Anoa menjilat garam alami
dalam rangka pemenuhan kebutuhan mineralnya. (Malik et al., 2004;
Pujaningsih, 2005).
2.5 Reproduksi
Kemampuan bereproduksi
terjadi pada umur 2 tahun hingga 3 tahun. Masa bunting dari 276 hari sampai 315
hari, bayi anoa yang dilahirkan hanya satu ekor. Anoa bisa bertahan hidup
sekitar 20 tahun hingga 25 tahun. Saat dilahirkan, bayi anoa bulunya berwarna
cokelat keemasan atau kekuningan dan sangat tebal. Warnanya perlahan akan
berubah menjadi lebih gelap seiring dengan perkembangannya (Wikipedia
Ensiklopedia Bebas, 2010)
2.6 Populasi
Sedikit data yang bisa
didapatkan mengenai jumlah populasi pasti dari Anoa Pegunungan. Saat ini
diperkirakan jumlah populasi dari seluruh Anoa Pegunungan sekitar 3000 hingga
5000 ekor. Populasinya menurun dari tahun 1900, hal ini diakibatkan oleh
berkurangnya habitat, perburuan dan penembakan illegal. Diperkirakan kurang
dari 2.500 ekor individu dewasa. Populasi dari anoa sudah sangat
mengkhawatirkan, karena subpopulasinya yang berada pada area hutan lindung
seperti Taman Nasional Lore Lindu juga mengalami penurunan jumlah populasi yang
diakibatkan oleh tingginya perburuan. Ada tiga area dimana jumlah populasi anoa
menurun drastis, yaitu di Gorontalo, Buol, dan kabupaten Tolitoli (Wikipedia
Ensiklopedia Bebas, 2010)
2.7 Status
Perlindungan
Anoa merupakan salah
satu satwa liar langka yang dilindungi oleh negara beradasarkan UU Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP
Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Selain itu
satwa anoa masuk ke dalam daftar CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Flora and Fauna) yaitu appendix 1
merupakan satwa yang hampir punah.
Anoa pegunungan
biasanya diburu untuk diambil kulit, daging dan tanduknya. Selain itu pembukaan
hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan pertambangan emas juga semakin
mengancam habitat Anoa Pegunungan, karena ia kehilangan habitatnya dan sumber
makanannya, serta ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan keberadaan manusia.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Dari sini bisa
disimpulkan bahwa bahan dari sarang burung walet adalah halal. Namun, bisa
menjadi haram jika sarang burung tersebut tercampur dengan kotoran. Sarang
burung walet ini mengandung protein yang sangat tinggi yang disebut dengan
glikoprotein,dan juga mengandung kalsium,fosfor,air dan karbohidrat yang mencapai
sekitar 50 %.Burung walet merupakan burung yang berbeda dengan burung
lainnnya,burung ini tidak bisa bertengger melainkan menempel di
dinding-dinding. Sarang burung walet ini digunakan sebagai makanan suplemen
tubuh yang memiliki kasiat yang tinggi,sarang burung walet ini juga digunakan
sebagai obat penyembuh penyakit AIDS.Seperti Nabi bersabda Setiap penyakit ada
obatnya.
3.2 Saran
Karena
sudah terbukti kalau sarang burung walet itu halal,masyarakat tidak perlu
khawatir lagi tentang kandungan yang ada dalam sarang burung walet,tapi malah
seharusnya masyarakat menanfaatkan sarang burung walet tersebut untuk hal-hal
yang positif,seperti dalam masalah kesehatan,untuk dibuat obat-obat yang
bermanfaat buat masyarakat
3.3 Daftar Pustaka
(di unduh pada tanggal 27/12/14 jam 13.33 wib)
(di unduh pada tanggal 27/12/14 jam 14.05 wib)
(di unduh pada tanggal 27/12/14 jam 14.20 wib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar